Bank Indonesia (BI) memperkirakan, ekonomi Indonesia pada kuartal I-2015 tumbuh sekitar 5% (year on year/yoy), lebih rendah dibanding periode sama 2014 yang tercatat 5,21%. Laju pertumbuhan ekonomi yang menurun itu tidak lepas dari pengaruh kondisi perlambatan ekonomi global yang tak kunjung pulih.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, dinamika pertumbuhan ekonomi domestik turut terdampak oleh perkembangan ekonomi global. Dampak lanjutan krisis ekonomi 2008 masih membebani dinamika ekonomi global dan nasional. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global yang melambat, pertumbuhan ekonomi domestik sepanjang 2014 pun melambat, namun diperkirakan akan membaik pada tahun ini.
“Pertumbuhan di bagian negara yang lain tidak terlalu menggembirakan dan ini juga tercermin dari harga komoditas yang melemah. Di Indonesia, kami perkirakan bahwa pada kuartal-I dan II itu pertumbuhan ekonomi masih ada di sekitar 5% atau sedikit di atas 5%,” kata Agus usai menghadiri rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Jumat (10/4).
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2014 yang berada di level 5,21% itu melambat dibanding periode sama 2013 yang sebesar 6,02%. Namun, BI tetap mengharapkan bahwa ekonomi Indonesia sepanjang tahun akan tumbuh di kisaran 5,4-5,8%. Seperti halnya BI, pemerintah pun tetap optimistis dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang akan berada di level 5,7% sesuai target APBN-P 2015.
Bahkan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan, meskipun ekonomi Indonesia pada kuartal I-2015 hanya tumbuh 5% bukan merupakan hasil yang buruk.
Alasannya, jika dibandingkan dengan negara lain yang hanya tumbuh 1% atau 2%, Indonesia tumbuh lebih baik. Menurut dia, salah satu pembentuk utama pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2015 ini adalah konsumsi rumah tangga. “Negara-negara lain itu tumbuh 1-2%. Jadi, walaupun kita tumbuh cuma 5%, itu sudah bagus dibanding banyak negara,” tegas Bambang.
Sentimen Negatif
Sementara itu, ekonom Institute of Development for Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, pemerintah belum memberikan stimulus apapun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi selama kuartal I-2015. Perubahan nomenklatur pada 13 kementerian/lembaga yang ada mengakibatkan penyerapan anggaran jadi terhambat.
Yang perlu diingat, kata dia, jangan sampai pertumbuhan tergerus di bawah 5%. Apabila hal itu terjadi, artinya ada kebijakan pemerintah yang menimbulkan sentimen negatif dari pasar.
“Pada kuartal-I itu auto pilot, baseline-nya hanya 5%-an. Kalaupun sampai di bawah 5%, artinya ada kebijakan pemerintah yang mendistorsi dan menimbulkan sentimen negatif dari pasar atau mendistrosi dan mengganggu daya beli masyarakat (misalnya) melalui kenaikan BBM (bahan bakar minyak). Kalau di bawah 5%, ini akan sangat berat untuk pemerintah,” kata Enny kepada Investor Daily di Jakarta, Minggu (12/4).
Ia menilai, hingga akhir tahun masih ada harapan bagi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan di level 5,7%. Syaratnya, pemerintah perlu melihat dengan cermat hal-hal yang mendorong pertumbuhan. Misalnya pertama, belanja-belanja infrastruktur yang ada haruslah fokus pada yang bersifat jangka pendek sehingga terasa dampaknya pada perkembangan ekonomi.
Kedua, anggaran ke desa melalui dana desa bisa menjadi jalan untuk memacu pembangunan di daerah sehingga membantu untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang dibatasi oleh adanya kenaikan harga BBM. “Untuk memantik sumber pertumbuhan harus dari akar (desa),” ujar Enny.
Terkait optimisme pemerintah yang memandang pertumbuhan ekonomi domestik lebih baik dibandingkan negara lain, kata Enny, tidaklah relevan. Indonesia secara teknokratik memang tumbuh lebih tinggi, namun secara kualitas masih kalah dengan pertumbuhan ekonomi negara lain, misalnya Jepang.
“Kita tidak bisa membandingkan apple to apple dengan negara lain. Misalnya Jepang, itu tidak bisa tumbuh di atas 5%, tapi mereka berkualitas pertumbuhannya. Sektor-sektor produktif tumbuh. Kita pernah tumbuh 6,2% (2013), tapi belum mampu meng-cover pengangguran. Apalagi kalau hanya tumbuh 5%. Memang, dari sisi angka 5% itu tinggi dibandingkan beberapa negara Eropa yang masih minus pertumbuhannya,” pungkas dia. (beritasatu.com)
Comments
Post a Comment